Refleksi Hari Pers Nasional Memaksimalkan Peran Wartawan
Ada pertanyaan beberapa mahasiswa yang cukup menggelitik pada
pertemuan perkuliahan seputar jurnalistik. Isi pertanyaan itu kurang
lebih mempersoalkan pekerjaan wartawan yang suka mencari-cari informasi
yang dianggap sebagai kejelekan atau aib seseorang dan menyebarkannya di
media massa sehingga diketahui banyak orang.
Wartawan yang merupakan bagian dari insan pers sebagai ujung tombak
di lapangan kerap mendapat penilaian yang kurang menyenangkan dari
sebagian masyarakat. Baik itu terkait pemberitaannya maupun adanya oknum
wartawan bodrek atau abal-abal (sebutan bagi wartawan gadungan).
Diakui atau tidak, pada satu sisi hasil kerja wartawan yang di tulis
di media massa cetak (koran, majalah, tabloid dan sebagainya), di
tayangkan di televisi, disiarkan di radio atau yang dipublikasikan di
media online kerap dianggap merugikan sebagian masyarakat. Namun, tidak
sedikit berita yang dibuat wartawan membuahkan hasil dan membawa manfaat
bagi masyarakat.
Sebagai contoh, ketika ada jalan rusak atau berlubang kemudian
mendapat sorotan wartawan dan diliput lantas tak lama setelah
diberitakan ada perbaikan jalan. Begitu pula saat ada warga yang sakit
dan kesulitan mendapatkan biaya pengobatan, ketika wartawan ramai-ramai
meliputnya tidak menutup kemungkinan banyak bantuan mengalir dan bahkan
pejabat dari dinas terkait ikut turun. Barangkali masih lekat di ingatan
masyarakat bagaimana kisah Tasripin bocah dari Banyumas yang menjadi
tulang punggung adik-adiknya ketika di angkat di media massa dan
menggerakkan hati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tak hanya Presiden,
banyak pihak yang juga ikut peduli dan simpati dengan Tasripin.
Ahmad Y Samantho di dalam bukunya Jurnalistik Islami,
menyebutkan dalam dunia yang kini telah memasuki era informasi, maka
peran profesi jurnalistik-pers dalam masyarakat sangatlah penting. Sama
pentingnya dengan peran yang dapat dimainkan oleh para ilmuwan,
cendekiawan dan para ulama. Perannya dalam mencari, memburu, menggali
dan mengolah informasi lalu menyebarkannya ke tengah-tengah masyarakat
luas merupakan salah satu pilar sistem pendidikan massal, pertahanan
budaya dan pemberdayaan masyarakat melalui penguasaan informasi.
Selain itu, pers dan jurnalistik juga dianggap sebagai kekuatan
keempat setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif. Melihat pentingnya
keberadaan insan pers, pembaca dapat memberikan penilaian seberapa
perlunya kehadiran wartawan.
Berdasarkan pengalaman penulis semasa menjadi wartawan di harian
lokal di Karesidenan Surakarta, ada beberapa alasan yang membuat
sebagian masyarakat malas berhubungan dengan wartawan. Di antaranya pertama,
orang itu punya masalah, kasus atau permasalahan yang tentunya tidak
ingin diungkap atau diketahui banyak orang. Dapat dipastikan orang itu
bisa marah atau sikap tidak suka kalau diliput.
Kedua, ada lagi sebagian masyarakat yang pernah dirugikan
oknum wartawan bodrek atau wartawan abal-abal sehingga lebih memilih
tidak berurusan dengan wartawan. Ketiga, di antara masyarakat ada
yang khawatir harus membayar sejumlah uang jika mengundang wartawan.
Saat masih bertugas di lapangan, banyak narasumber yang menanyakan harus
membayar berapa jika ingin diliput atau dimuat beritanya.
Sebenarnya, masyarakat tidak perlu takut berlebihan atau pobia kepada
wartawan. Siapapun dia, apapun pekerjaannya, apapun jabatannya atau
status sosialnya tidak usah menjadikan wartawan sebagai musuh. Justru,
ada sebagian masyarakat yang merasa diuntungkan karena telah diliput dan
diberitakan oleh wartawan. Dengan niatan yang baik, kegiatan masyarakat
bisa dipublikasikan di media massa, usahanya bisa lebih dikenal,
prestasinya dapat diketahui dan sebagainya.
Wartawan memang bukan Tuhan atau malaikat. Wartawan itu manusia biasa
dan tentunya tidak luput dari kesalahan. Untuk itulah, diharapkan
wartawan tetap bekerja sesuai dengan tugasnya dan menjunjung tinggi Kode
Etik Jurnalistik. Apabila wartawan berbuat kesalahan terkait karya
jurnalistiknya, maka bisa dilakukan ralat atau masyarakat dapat
memberikan hak jawabnya. Tidak perlu gegabah melakukan penganiayaan
terhadap wartawan yang bersangkutan.
Di lapangan, wartawan juga dihadapkan kepada risiko pekerjaan mulai
dari cercaan atau makian, aksi terror penganiayaan hingga bisa berujung
kepada kematian. Seperti yang menimpa wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin atau yang lebih dikenal dengan nama Udin. Terkait kasus Udin ini, seperti disebutkan dalam situs http://www.pwi.or.id,
kekerasan terhadap wartawan masih menjadi masalah serius di Indonesia.
Hingga saat ini, kasus terbunuhnya wartawan Fuad M. Syarifudin (Udin)
belum berhasil diungkapkan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Udin adalah wartawan Harian Berita Nasional (Bernas) anggota Persatuan
Wartawan Indonesia Indonesia (PWI) Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) bernomor AM.13.00.2847.89.M.VI yang tewas menjadi korban
pembunuhan orang tidak dikenal. Ia dibunuh dengan dugaan kuat terkait
dengan karya jurnalistiknya. PWI tetap menuntut Polri dan Pemerintah
serius mengungkapkan kasus tersebut dan memberikan keadilan sesegera
mungkin.
Di Indonesia, keberadaan pers mendapat perhatian dari pemerintah dan diperingati setiap 9 Februari. Seperti dikutip http://www.hpnindonesia.com
Hari Pers Nasional (HPN) diselenggarakan setiap tahun pada tanggal 9
Februari (bertepatan dengan hari ulang tahun PWI), ditetapkan melalui
Keputusan Presiden RI Nomor 5 Tahun 1985 yang ditandatangani oleh
Presiden Soeharto pada 23 Januari 1985. Penanggung Jawab HPN 2014
Margiono menyebutkan satu hal yang berbeda dalam peringatan Hari Pers
Nasional 2014 dibanding HPN di masa sebelumnya adalah tahun ini diikuti
dengan dua pesta besar dalam demokrasi nasional, yakni Pemilihan Umum
(Pemilu) Legislatif dan Pemilu Presiden. Dengan kata lain, pers nasional
dituntut publiknya untuk turut menginformasikan sekaligus mengawal
jalannya dua pesta dari, oleh dan untuk rakyat Indonesia Raya ini.
Melihat tema HPN 2014 yaitu Kemerdekaan Pers dari dan untuk Rakyat: Pers Sehat, Rakyat Berdaulat, mari
sama-sama menaruh harapan kepada insan pers kita agar lebih dapat
menjalankan perannya. Wartawan sebagai orang yang bertugas di lapangan
bisa semakin maksimal dalam melaksanakan tugasnya dan tetap berupaya
menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik. Semoga wartawan Indonesia tetap
berusaha bersikap independen meski para pemilik media banyak yang
terjun dalam ajang politik 2014.
Selamat Hari Pers Nasional dan Selamat Hari Lahir PWI, semoga
kehadiran wartawan Indonesia semakian memberikan manfaat bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara. (Nadhiroh, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).
Tulisan ini dimuat di Harian Bernas Edisi 12 Februari 2014
http://dakwah.uin-suka.ac.id/2014/02/refleksi-hari-pers-nasional-memaksimalkan-peran-wartawan/
Komentar
Posting Komentar